Aku
tengkurap diatas kasur berseprei hijau dengan motif daun dan bunga lili, Laptop
berkali-kali aku mati dan hidupkan kembali. Bosan melandaku karena semua film
didalamnya sudah pernah aku lihat dan berkali-kali pula. Sampai jauh tengah
malam rupanya ketika aku tanpa sadar menoleh pada jam weker diatas meja 00.10
“hemh....10, keramat” ucapku lirih.
10 juli bertahun-tahun silam aku pertama kali
melihatnya, masih sangat belia dengan seragam baru putih abu-abu. Walau rasanya
telah lama sekali tapi aku masih ingat betul bagaimana rupanya, hidungnya yang
mancung, warna bibirnya yang masih merah dan pandangan yang mampu membuatku
bahkan tak mampu untuk memandangnya. Namun, sayang dia terlalu tinggi untuk aku
miliki.
Aku
tercatat sebagai siswi yang biasa saja, tidak istimewa dan catatan prestasiku
tidak bisa dibilang gemilang. Tentu saja lelaki ini tak pernah mengenalku; aku tak ingin menyebut namanya dan bertemu
dengannya lagi dalam hidupku karena hanya akan menumbuhkan perasaan yang telah
lama aku ingkari. Aku cukup tahu diri
untuk tidak pernah menampakkan perasaanku pada lelaki ini, bahkan teman
sebangku ku pun tidak. Aku menyimpannya cukup rapi.
Ketika
aku ingin melihatnya maka aku sedikit berlama-lama mengemasi buku- buku dalam tas karena ku tahu dia selalu
saja berjalan pada barisan paling akhir dari siswa-siswi yang lain, untuk
akhirnya melewati pintu depan kelasku.
Sebenarnya, ketika hal itu terjadi, bahkan di setiap harinya aku tak
benar-benar memandangnya aku hanya melihatnya melalui sudut mata. Dan aku
pulang dengan bahagia, begitu saja, begitu amat sederhana.
Sampai
suatu hari, “hai....”. Aku mengangkat mataku dari buku yang aku tekuni barisan
katanya dalam perpustakaan siang itu dan
aku tak dapat bicara. Aku tertegun pada wajah yang tepat di depan wajahku,
tersenyum menunjukkan barisan giginya yang rapi. “iya...” hanya itu kata yang
sanggup keluar dari kerongkonganku selanjutnya
aku sibuk toleh kanan-kiri, perasaan was-was bahwa dia menegur orang
yang salah.
“kamu
vyan kan? ”, katanya dan aku hanya mengangguk
“aku
melihatmu setiap hari disini dan bahkan duduk di tempat yang sama, ndak bosen
?”, katanya lagi.
“ndak....”,
aku masih kehilangan memori yang menampung segala kosa kata yang aku pernah
pelajari.
“aku
ganggu ndak ?”
“ndak
kok , ada apa ?”, ku beranikan untuk bertanya.
“hanya
pengen tahu saja, kok rasanya aku sering melihatmu saja, setiap kali aku pulang
sekolah”, katanya santai sembari
mengambil buku yang ada di meja di depan kami.
“hah.....????”
aku tak sanggup bicara lagi.
No comments:
Post a Comment