Tanah
dibawah kakiku masih basah, rupanya hari ini terlalu pagi aku datang keperkuburan. Beginilah aku ketika
aku sedang sangat terpuruk aku mengadu pada gundukan tanah ini. Buat sebagian
orang ini adalah hal yang aneh untuk berbicara sendiri pada satu hal yag tidak memberi jawaban.
Namun bagiku mengadu pada seseorang yang aku sayang tentu sangat berarti.
Setengah jam sudah aku bersimpuh
ditanah ini. Aku melihat jam tangan di
pergelangan kanan tanganku. “sudah jam 6... aku harus kerja”, kataku lirih
mengakhiri cerita panjangku pada orang yang aku kasihi ini. Aku berdiri untuk
segera beranjak, dan betapa terkejutnya aku lelaki itu berada tak
jauh didepanku menggandeng mesra
perempuan muda yang mungkin entah dari perkuburan sebelah mana.
“Tyo........”,
ucapku lirih. Tak sadar aku menyebut nama lelaki ini dan bangunan yang aku
bangun perlambang pengingkaran runtuh
sudah.
Sakit rasanya ketika melihat
orang yang dikasihi bersama wanita lain. Mungkin inilah yang dulu dirasakannya ketika
melihat Tyo bersama perempuan lain hingga akhirnya ia nekat mengakhiri hidupnya
di semester kedua di bangku SMA. Dan aku menunduk melihat namanya, Rinda
geovani; batu nisan itu masih basah.
Perempuan yang mencintai lelaki yang sama denganku. Aku kembali tersenyum samar dalam diam
******
Benar kata mama bahwa lelaki tak
pernah berpihak dalam kehidupan kami. Jadi masih kah aku akan menjawab pertanyaan
tetangga dengan sesuatu yang lain. Tersenyum
mungkin jawaban abadi dalam hidupku yang terus akan aku berikan.
Di tulis oleh : Devy Avinda