Wednesday 17 May 2017

Cerpen Remaja

Part 4


Tanah dibawah kakiku masih basah, rupanya hari ini terlalu pagi  aku datang keperkuburan. Beginilah aku ketika aku sedang sangat terpuruk aku mengadu pada gundukan tanah ini. Buat sebagian orang ini adalah hal yang aneh untuk berbicara sendiri  pada satu hal yag tidak memberi jawaban. Namun bagiku mengadu pada seseorang yang aku sayang tentu sangat berarti.
                Setengah jam sudah aku bersimpuh ditanah ini. Aku melihat jam tangan  di pergelangan kanan tanganku. “sudah jam 6... aku harus kerja”, kataku lirih mengakhiri cerita panjangku pada orang yang aku kasihi ini. Aku berdiri untuk segera beranjak, dan   betapa terkejutnya aku lelaki itu berada tak jauh didepanku menggandeng  mesra perempuan muda yang mungkin entah dari perkuburan sebelah mana.
“Tyo........”, ucapku lirih. Tak sadar aku menyebut nama lelaki ini dan bangunan yang aku bangun  perlambang pengingkaran runtuh sudah.
                Sakit rasanya ketika melihat orang yang dikasihi bersama wanita lain. Mungkin inilah yang dulu dirasakannya ketika melihat Tyo bersama perempuan lain hingga akhirnya ia nekat mengakhiri hidupnya di semester kedua di bangku SMA. Dan aku menunduk melihat namanya, Rinda geovani; batu nisan itu masih basah.  Perempuan yang mencintai lelaki yang sama denganku.  Aku kembali tersenyum samar dalam diam
******
                Benar kata mama bahwa lelaki tak pernah berpihak dalam kehidupan kami. Jadi masih kah aku akan menjawab pertanyaan tetangga dengan sesuatu yang lain. Tersenyum  mungkin jawaban abadi dalam hidupku yang terus akan aku berikan.

Di tulis oleh : Devy Avinda

Cerpen Remaja

Part 3


Betapa aku merasa beruntung setelah kejadian buku dan perpustakaan saat itu. Aku juga tak tahu bagaimana ini bisa terjadi dan hanya terjadi begitu saja, ya begitu saja. Lelaki ini sering kali mengirim pesan singkat dipagi hari. “sampai ketemu disekolah” atau “sebentar lagi aku melihatmu” dan macam macam lainnya. Bukan pertemuan yang manis di sudut sekolah atau bukan pula pertemuan yang penuh dengan romansa di taman-tamannya sekolah seperti kebanyakan di film-film remaja. Pertemuan kami sederhana saja, ketika dia melewati jendela depan kelasku, aku aku masih memandangya melalui sudut mataku dan kami berdua tersenyum samar saja. Namun bagiku, kediaman yang ada diantara kami sungguh membagiakan.
                Dua tahun masa sekolahku  aku lewati dengan tersenyum samar saja pada lelaki ini, lelaki yang lewat depan kelasku.  Tak lebih dari itu. Bahkan obrolan ringan setelah masa perpustakaan dulu tak pernah lagi. Tapi aku sangat menikmtai kediaman diantara kami disekolah dimana hal itu berbanding terbalik dengan obrolan panjangnya setiap malam di telfon.
                Sekolah tinggal hitungan bulan lagi sebelum kejadian di siang iitu akhirnya terjadi. Hari itu angkutan kota yang aku biasa tumpangi belum lagi penuh. Aku seperti biasa pulang dengan teman sebangku-ku, Lia . Tak tahu apa yang kami bicarakan sebelumnya hingga Lia berkata “kamu tahu ndak vy... ..... sekarang sudah punya pacar lho”. Aku tertegun mendengarnya tiba-tiba mata terasa panas dan sekuat tenaga aku menahan laju air mata ini agar aku tidak sampai  menangis. Dengan suara tertahan aku memberanikan diri untuk bertanya “siapa ?” kataku seolah-olah hal tersebut terdengar biasa. “katanya sih anak kelas satu. Aku juga ndak tahu yang mana anaknya” jawab Lia  singkat.
                Aku tertegun, terbangun dari lamunankku dan hatiku kembali terasa sakit. Nafasku terengah-engah seakan baru menyelesaikan lomba lari maraton. Kejadian dulu sekali terasa begitu nyata kembali terjadi lagi. Marah rasanya pada diri ini, bagai mana mungkin komitmen untuk tidak kembali memutar memori ini kembali aku lakukan.  Berkali-kali aku menyebut nama  Tuhan yang Esa dan mencoba menyalakan laptop yang dalam mode sleep untuk kembali beroprasi. Aku putar film serampangan sampai aku tertidur dalam pelukan malam.
                                                                                *****                  

Cerpen Remaja

Part 2


Aku tengkurap diatas kasur berseprei hijau dengan motif daun dan bunga lili, Laptop berkali-kali aku mati dan hidupkan kembali. Bosan melandaku karena semua film didalamnya sudah pernah aku lihat dan berkali-kali pula. Sampai jauh tengah malam rupanya ketika aku tanpa sadar menoleh pada jam weker diatas meja 00.10 “hemh....10, keramat” ucapku lirih.
 10 juli bertahun-tahun silam aku pertama kali melihatnya, masih sangat belia dengan seragam baru putih abu-abu. Walau rasanya telah lama sekali tapi aku masih ingat betul bagaimana rupanya, hidungnya yang mancung, warna bibirnya yang masih merah dan pandangan yang mampu membuatku bahkan tak mampu untuk memandangnya. Namun, sayang dia terlalu tinggi untuk aku miliki.
Aku tercatat sebagai siswi yang biasa saja, tidak istimewa dan catatan prestasiku tidak bisa dibilang gemilang. Tentu saja lelaki ini tak pernah mengenalku; aku  tak ingin menyebut namanya dan bertemu dengannya lagi dalam hidupku karena hanya akan menumbuhkan perasaan yang telah lama aku ingkari.  Aku cukup tahu diri untuk tidak pernah menampakkan perasaanku pada lelaki ini, bahkan teman sebangku ku pun tidak. Aku menyimpannya cukup rapi. 
Ketika aku ingin melihatnya maka aku sedikit berlama-lama mengemasi  buku- buku dalam tas karena ku tahu dia selalu saja berjalan pada barisan paling akhir dari siswa-siswi yang lain, untuk akhirnya melewati pintu depan kelasku.  Sebenarnya, ketika hal itu terjadi, bahkan di setiap harinya aku tak benar-benar memandangnya aku hanya melihatnya melalui sudut mata. Dan aku pulang dengan bahagia, begitu saja, begitu amat sederhana.
Sampai suatu hari, “hai....”. Aku mengangkat mataku dari buku yang aku tekuni barisan katanya dalam perpustakaan  siang itu dan aku tak dapat bicara. Aku tertegun pada wajah yang tepat di depan wajahku, tersenyum menunjukkan barisan giginya yang rapi. “iya...” hanya itu kata yang sanggup keluar dari kerongkonganku selanjutnya  aku sibuk toleh kanan-kiri, perasaan was-was bahwa dia menegur orang yang salah.
“kamu vyan kan? ”, katanya dan aku hanya mengangguk
“aku melihatmu setiap hari disini dan bahkan duduk di tempat yang sama, ndak bosen ?”, katanya lagi.
“ndak....”, aku masih kehilangan memori yang menampung segala kosa kata yang aku pernah pelajari.
“aku ganggu ndak ?”
“ndak kok , ada apa ?”, ku beranikan untuk bertanya.
“hanya pengen tahu saja, kok rasanya aku sering melihatmu saja, setiap kali aku pulang sekolah”, katanya santai  sembari mengambil buku yang ada di meja di depan kami.
“hah.....????” aku tak sanggup bicara lagi.